Minggu, 24 November 2024

Menko Perekonomian Klaim Tren Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Konsisten di Atas 5 Persen

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Ilustrasi peti kemas yang akan diekspor. Foto: Kemenkeu

Airlangga Hartarto Menteri Koordinator bidang Perekonomian mengungkapkan, tren positif pertumbuhan ekonomi Indonesia terus berlanjut di tengah upaya Pemerintah menjaga momentum pemulihan ekonomi.

“Tren inflasi berbagai negara di dunia mengalami kenaikan signifikan akibat krisis pangan dan energi. Amerika Serikat 8,3 persen, Uni Eropa 9 persen, Inggris 10 persen, dan Jerman 7,9 persen. Sedangkan Indonesia di bulan Juli 2022 masih 4,69 persen,” ujarnya di Jakarta, Senin (19/9/2022).

Menurut Airlangga, indikator tren positif pertumbuhan ekonomi Indonesia juga terlihat dari tingkat kemiskinan dan pengangguran yang menurun, serta situasi sosial masyarakat yang membaik.

“Neraca perdagangan surplus 28 bulan berturut-turut. Itu menunjukkan penanganan ekonomi Indonesia berada di jalur yang tepat. Bulan Agustus 2022, neraca perdagangan masih surplus 5,76 miliar Dollar AS, di mana sektor non migas menjadi kunci utama,” paparnya.

Menanggapi klaim itu, Faisal Rachman Ekonom Bank Mandiri bilang dengan capaian kuartal II pada 2022, pertumbuhan ekonomi Indonesia berpeluang mencapai di atas 5 persen.

“Untuk 2022, prediksi kami ekonomi Indonesia tumbuh di kisaran 5,17 persen,” katanya.

Faisal menambahkan, surplus perdagangan lebih besar dari perkiraan, bahkan terbesar dalam empat bulan terakhir.

Surplus perdagangan Indonesia pada 22 Agustus menjadi 5,76 miliar Dollar AS lebih banyak dibandingkan capaian Juli 2022 sebanyak 4,22 miliar Dollar AS.

Delapan bulan pertama tahun ini, sambung Faisal, neraca perdagangan mencatat surplus 34,92 miliar Dollar AS, lebih banyak dari surplus pada periode yang sama 2021 di angka 20,71 miliar Dollar AS.

“Kami masih melihat surplus perdagangan cenderung menyempit ke depan. Kami berharap impor bisa mengimbangi ekspor seiring dengan percepatan pemulihan ekonomi domestik,” terangnya.

Lebih lanjut, Faisal mengungkapkan perekonomian Indonesia tumbuh lebih kuat daripada yang diperkirakan pada Semester I 2022. Hal itu dipengaruhi aktivitas produksi dan konsumsi yang kuat.

“Itu berarti permintaan impor bahan baku dan barang modal akan lebih kuat mengikuti,” tambahnya.

Faisal mencatat neraca transaksi berjalan 2022 berpotensi surplus 0,00 – 0,45 persen dari PDB dibandingkan 0,28 persen dari PDB pada 2021. Sehingga, Pemerintah mampu menjaga cadangan devisa dan stabilitas nilai tukar Rupiah.

“Selain itu, upaya Pemerintah dan Bank Indonesia untuk menerapkan kembali sanksi bagi eksportir yang tidak menempatkan devisa hasil ekspor (DHE) di dalam negeri untuk mendukung stabilitas tersebut,” tegasnya.

Sementara itu, Berly Martawardaya Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengatakan, Indonesia tidak akan masuk resesi.

Tapi, dia memprediksi kecil kemungkinannya untuk mempertahankan target pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen.

“Agak berat. Memang tren positif dan tidak akan resesi. Tapi, agak sulit untuk di atas 5 persen. Itu belum bicara kemiskinan, karena kalau inflasi, biasanya meningkatkan kemiskinan,” ungkapnya.

Konflik geo politik antara Ukraina-Rusia, lanjut Berly, akan terus memanas. Sehingga, membuat harga energi masih dalam ketidakpastian.

“Faktor geopolitik membuat ketidakpastian meningkat. Sehingga, harga-harga dan Inflasi dorongan akan makin tinggi dalam enam bulan ke depan, trennya meningkat,” sebutnya.

Kemudian, dampak dari kenaikan harga vahan bakar minyak (BBM) akan terasa belakangan, dan mempengaruhi inflasi.

“Berdasarkan pengalaman, kenaikan harga BBM memicu inflasi tambahan on top antara 2-3 persen. Tantangan Pemerintah di lower end jangan dekat tiga atau lebih dari tiga persen inflasinya. Khususnya transportasi dan sembako harus bisa ditekan,” timpalnya.

Dosen di Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia itu menambahkan, tugas besar Pemerintah adalah menjaga harga kebutuhan pokok dan juga transportasi.

Kalau inflasi tinggi, maka Bank Indonesia (BI) harus ikut menaikkan suku bunga.

“Karena kalau Inflasi tinggi, nilai Rupiah secara real turun. Kalau selisih terlalu jauh dengan Dollar atau Euro, capital outflow Rupiah bakal melemah, dan BI akan terpaksa menaikkan suku bunga,” jelasnya.

Berly bilang, salah satu penopang perekonomian Indonesia adalah ekspor. Tapi, pendapatan negara dari perdagangan pasti akan berkurang kalau ekonomi negara adidaya seperti AS mengalami perlambatan.

“Kalau melihat tahun ini, sumber pertumbuhan yang besar adalah ekspor. Jadi, kalau daya beli barat berkurang, maka ekspor berkurang dan pertumbuhan Indonesia bisa terpengaruh,” tandas Berly.(rid/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Minggu, 24 November 2024
28o
Kurs